Selasa, 28 April 2015

cerpen


Garis Abu-Abu.
 “Alief…. Ayolah, kau dengar adzan kan? Bisa ketinggalan satu rokaat kita nanti….” Akbar terus menoleh kebelakang, dengan tatapan mata tidak sabarannya. Mengangkat sarung kotak-kotak berwarna coklatnya, berjalan cepat beberapa langkah, kemudian kembali menyamai langkah ku.
“tunggu sebentar, kakikukan tidak sepanjang kamu….” Ucapku menimpali, sementara ia mulai sibuk menarik lenganku dan memegangi sarungnya yang mulai kedodoran “akh..” desisku kesal saat sandal jepit berlis biru yang agak kekecilan miliku, pretel ditengah jalan.
“ada apa kawan??” tanyanya basa-basi, padahal jelas ia melihat keadaan sandalku, pengait tempat jempolnya telah copot sempurna.
“putus lagi….” Jawabku sambil berjongkok mencoba membenarkan sandal itu kembali. Sayup-sayup suara suara adzan telah mengalun dibagian akhir menyerukan kebesaran sang illahi, menyeruak diantara tusukan angin dengan aroma bukitan sampah yang mengelitik tengkukku.
Akbar menghembuskan nafas berat sebelum berkomentar “sandal itu memang seharusnya dibuang,” melihat aku bergeming, ia diam sesaat merasa bersalah dengan komentarnya, “pakailah ini...” lanjutnya sambil mengeluarkan kantong pelastik hitam. Aku memasukkan kakiku kedalam plastik, melilitkannya  kepergelangan kaki dan mulai kembali berlari. Dari kejauhan adzan telah berganti komat, sementara angin masih tetap sibuk menggelitiki tengkuk ku.
                                                            ****
Selesai sholat subuh berjamaah, aku dan Akbar tetap berada didalam mushola sekedar untuk tidur-tiduran atau bertukar cerita. Kalau diperhatikan, mushola ini kecil, gentingnya sudah banyak yang bolong, dan tembok yang seharusnya putih telah menjadi coklat dan terkelupas dibanyak bagian.
“Alief…” panggil Akbar menghamburkan lamunanku, ia mulai merubah posisi dari berbaring menjadi duduk menghadapku, dengan enggan aku hanya menatap kearahnya sambil menggumam ‘hem’ dengan setengah hati “kau tau Alief dua minggu telah berlalu sejak kematian ayahku….” Dia terdiam, wajahnya menampakkan kekacauan untuk berekspresi. Aku akhirnya ikut merubah posisi untuk duduk.
 “keluarga kami tak lagi sama Alief, kami benar-benar mengalami krisis” Akbar kembali terdiam bingung menatapku. Aku pun begitu, menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
Keluarga kami memiliki derajat keuangan yang hampir sama persis. Aku dan Akbar hanyalah murid kelas 4 SD yang merangkap menjadi loper Koran keliling jika siang hari, sementara ibu kami hanya buruh cuci. Berbeda sedikit nasib pada pekerjaan ayah kami. Ayah ku seorang kuli bangunan satu tingkat diatas ayah Akbar yang dulu sewaktu hidupnya hanya seorang tukang sapu jalan. Meskipun demikian, kami selalu merasa ini hal yang wajar dan biasa saja, hidup sulit dengan kebutuhan mencekik sudah menjadi makan sehari-hari keluarga kami, tapi mendengar kata krisis dari seorang Akbar itu menunjukan keadaan yang lebih parah dari ini, mungkin ia benar-benar telah berada digaris limit mendekati nol.
Ia melanjutkan ucapannya “kami akan pindah” ia, kembali diam menggantung ucapannya, namun entah bagaimana aku merasakan ada titik diakhir kalimatnya, yang berarti tidak ada lagi penjelasan lebih dari itu.
“kemana?” Tanyaku datar, ia hanya menggeleng. Mata coklatnya menerawang, dahinya berkerut seakan ia sedang mencoba memecahkan soal matematika yang paling rumit.
“entah,…” ia menelan ludah sebelum melanjutkan “tapi yang jelas itu bukan kerumahmu. Karena kamu sama miskinnnya dengan ku…..” ucap Akbar dengan aksen khas andalannya sambil terkekeh dan mengacak-acak rambut ku. Aku hanya terdiam memanyunkaan bibir, ada nada getir dalam tawanya, begitupun denganku.
Saya Alief, Alief haqiqi, dan seseorang disebelahku ini adalah Akbar, Ibnu ali Akbar teman seperjuangan sekaligus sahabat karibku.
                                                                        ***
“Hakim Alief….” Seorang lelaki mendekatiku tepat sebelum aku memasuki ruang sidang.
“maaf anda siapa? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sedikit basa-basi.
“saya perwakilan dari keluarga korban… ingin memberikan ini…” lelaki itu mengeluarkan dan menyodorkan amplop coklat kepadaku, ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan. “ini hanya tanda terimakasih, dan kami memohon hukuman yang setimpal kepada terdakwa…” belum sempat aku mengucap, orang itu kembali berkata “Hakim Ketua dan Hakim senior juga telah menerimanya, saya harap anda juga tidak berkeberatan…”
Aku terdiam sesaat, berfikir entah apa baiknya. Menerima atau menolak, tapi saat berfikir Hakim Ketua dan Senior juga menerimanya, mungkin ini akan baik-baik saja? Pria itu hanya tersenyum melihatku yang hanya bungkam, iapun pamit tanpa menunggu jawaban selanjutnya.
                                                            ***
Aku memasuki ruang persidangan, setelah ketua umum dan petinggi lainnya masuk terlebih dulu, sidang telah siap dilaksanakan. Kuamati ruangan sekelilingku, terasa agak sesak meskipun banyak bangku kosong dibeberapa bagian. Mungkin karena ini pertama kalinya aku menjadi hakim sungguhan, dalam persidangan sungguhan. Aku akan memutuskan suatu perkara, meskipun masih dibilangan hakim junior, tapi pendapat kami jugalah yang akhirnya akan memberatkan atau meringankan hukuman para terdakwa, dan ini bukanlah hal yang bisa disepelekan, gumamku dalam hati.
Kasus perkara mulai dibacakan, meski telah memahami sepintas aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam kasus ini, ada perasaan tidak asing dengan nama lakonnya, tapi siapa? entahlah. Jaksa penuntut umum memerintahkan terdakwa memasuki ruangan, sesaat aku merasakan ada hawa hangat dari seseorang dihadapanku, hawa hangat juga lembut yang sudah lama kukenal .
Jika diperhatikan, tidak ada hal aneh dari orang yang berjarak tiga meter dariku, tubuhnya pun tidak kekar atau pun berwajah sangar, rambutnya memang gondrong sebahu tapi penampilannya cukup layak disebut sebagai orang yang terpelajar. Ia,hanya menunduk, sesekali menengadah meski akhirnya kembali menunduk.
Mata kami bersitatap sejenak yang membuat darah ku tiba-tiba menjadi seencer air dalam alirannya. Mata coklat, itu aku mengenalnya. Mata coklat yang selalu berbinar penuh semangat, aku mengenalnya atau setidaknya aku mengenal nya 20 tahun yang lalu, ralat ku.
“Ibnu ali Akbar” ucapku memulai pembacaan surat dakwaan, ruangan hening. Ada rasa ganjil menggelayuti bibir ku, kasus pertama tetapi dengan nama yang telah kukenal 20th yang lalu. Mengapa kasus pertama ku, justru harus menghakimi seorang sahabatku sendiri?
 Wajah Akbar kini menatap lurus kepadaku, aku tak tahu apa yang ia fikirkan, untuk sesaat ia terdiam menatapku dan sesaat kemudian ia memasang wajah yang tak kalah terkejutnya sepertiku tadi, mata kami bertabrakan sekali lagi.
Sidang terus berlanjut menciptakan badai berkecamuk dalam diriku. Aku mengenal Akbar lebih dari siapapun, aku tidak yakin dengan surat dakwak-an itu. surat dakwaan yang menyatakan ia telah membunuh orang lain, tapi jika surat dakwaan ini benar, dia sendirilah yang telah menyerahkan diri kepihak yang berwajib, aku tidak dapat berbuat apa-apa, fikirku. Namun, bagian diriku yang lain berkata aku tidak dapat berbuat apa-apa karena telah menerima tanda ucapan terima kasih dari keluarga korban? Atau ini sebuah sogokan? Apakah yang ku lakukan ini benar?  membiarkan sahabat karib ku tetap disana dengan tuduhannya, tanpa mau repot-repot berbuat apapun.  Terlebih untuk pindah dari kursi nyaman ini.
Semua saksi yang terkait telah memberikan kesaksian, mulai dari saksi yang memberatkan maupun saksi yang meringankan, namun tidak ada yang menyatakan dengan pasti apakah ia melihat Akbar sendiri yang membunuhnya, dan barang bukti pun hanya berupa pisau yang ia bawa.
Sidang pertama berakhir setelah pemeriksaan kepada terdakwa, sidang akan dilanjutkan lusa untuk pembacaan tuntutan, pembelaan dan tanggapan. Ada yang sangat ku khawatirkan, Akbar seakan telah menerima semua tuntutan tanpa perlawanan, dan aku tidak mampu berbuat apapun. Lebih tepatnya tidak ingin berbuat apapun yang akan merusak, repotasiku, masa depanku.
                                                            ***
Sidang hari kedua berlangsung, setelah Ketua Hakim membuka sidang dan menyerahkan tuntutan kepada Jaksa penuntut umum, sidang dilanjutkan dengan pembelaan, namun seperti sidang pertama, Akbar hanya diam dan pasrah menerimanya, tanpa pembelaan sedikitpun. Sidang hari kedua selesai dan akan dilanjutkan 7 hari mendatang. Kami masih belum berkata-kata sama sekali, tidak ia yang memulainya maupun aku.
                                                            ***
Akhirnya Aku menyerah pada rasa ingin tahu ku yang kian mengusik. Tepat 5 hari sebelum sidang ke tiga, aku menjenguknya di sel penjara. Bukan atas nama hakim, melainkan sahabat karib dua puluh tahun silam. “Apa yang sebenarnya terjadi…?” ucapku sesaat setelah Akbar memasuki ruang temu. ia tersenyum, masih seperti 20 tahun yang lalu. Mata coklatnya berbinar-binar menatapku penuh semangat.
“boleh aku memelukmu kawan?” Tanya akbar seraya merenggangkan tangan.
Aku menggeleng sebelum akhirnya mendekapnya erat, “kemana saja kau? Aku mencarimu… apa yang sebenarnya terjadi sekarang…. Kamu tidak mungkin melakukan pembunuhan ini bukan?” tangisku pecah dibahunya. Rentetan pertanyaan mengalir begitu saja tanpa aling-aling maupun basa-basi. Akbar terdiam sebelum akhirnya terisak. Jiwa ku kini benar-benar bagai badai di lautan, sekelebat rasa kecewa, iba, rindu apapun itu datang silih berganti.
“aku belum bisa bercerita sekarang…” ia terdiam sebelum melanjutkan “kau hakim yang hebat… aku bangga kepadamu, tapi lebih baik jangan temui aku” lagi-lagi ia tersenyum.
“hukuman mu bisa sangat berat, jika kau tidak melakukan pembelaan atau banding, sidang besok adalah pembacaan putusan sidang” ancamku. Ia menggenggam tanganku erat “aku percayakan kepadamu….”  
“Tapi aku tetap tidak bisa memenangkan mu…” jawabku sekenanya.
“ aku tidak butuh kemenangan, cukup keadilan bagi kami, kawan…” gurat wajah Akbar terlihat jelas kini dihadapanku. Perpaduan dari ketegaran, kedewasaan namun penuh penderitaan. Setelah jeda waktu yang kaku, akhirnya kami bisa berbincang kembali dengan normal, ia masih tetap seperti Akbar yang kukenal, hanya lebih dewasa dari yang kuduga. “Alief aku boleh meminta kertas dan bolpoint?” ucapnya diakhir kunjungan ku. Aku mengangguk, memberikan sebuah bolpoint biru dan secarik kertas memo yang kemudian ia simpan entah untuk apa. kami berpelukan sebelum ia meninggalkan ruang temu. Kurasakan tubuhnya dingin namun ada kehangatan disana, kehangatan dalam dekapannya, kehangatan dalam lembut hatinya, dalam setiap kasih tulusnya.
                                                            ***
“Mungkin Aku tidak layak menjadi hakim” pertanyaan ini telah 4 kali terlintas dalam otakku, dalam waktu 4 hari setelah pertemuan dengan Akbar dipenjara lalu.  Ku bolak-balikkan surat dakwaan dan beberapa keterangan atas bukti-bukti perkara. Entah mana yang disebut curang, licik, korupsi, kolusi maupun nepotisme. Menerima uang tanda terimaksih, sogokan, uang panas, apapun itu atau menyelidiki kasus sahabat mu sendiri, dan perasaan itu murni karena kau ingin menolongnya, atau setidaknya mengetahui kasus itu lebih dalam. Ungkap hatiku melakukan pembenaran. “aku hanya ingin menemukan sesuatu….”  Bela ku kepada diri sendiri, disela-sela carut marut data yang bergelimpangan dimeja kerja. Esok, tepat hari persidangan. Namun, semua kebenaran yang kucari nihil.
***
Pagi hari sebelum persidangan dimulai, aku kembali mencoba menjenguk Akbar dalam penjara. Entah apa yang sebenarnya ingin kulakukan, memaksa ia melakukan pembelaan, mengancam akan semua tuntutan atau justru ingin ia menyerah dan pasrah. Semua berputar dalam otakku, berpilin diantara kenangan 20th lalu. Kuseka ujung mataku yang telah merembeskan air bagai talang yang bocor. Lima menit ku menunggu, belum ada tanda-tanda kedatangannya.
“kalau jam segini, sel 7 mah sedang sholat duha, mungkin tak mau diganggu” ku putar ulang kata-kata sipir penjara yang kumintai tolong untuk membawanya menemuiku. Jam tangan digitalku menunjukkan waktu pukul 8.10, itu artinya aku telah menunggunya sekitar 15 menit. Tidak sabaran, aku mulai berputar-putar dikursi. ayolah akbar, aku tidak punya banyak waktu, 4 jam lagi dan semua akan terlambat tanpa pengakuanmu. Bisikku resah dalam hati, berulang kali ku lihat lagi jam digitalku yang belum ada tanda-tanda ingin melakukan perubahan pada menitnya.
“pak… pak…. Tahanan Sel 7….” Seorang sipir penjara yang tadi ku mintai tolong membawa Akbar, kini justru kembali seorangdiri. Wajahnya panic, keringatnya bercucuran, nafasnya sempurna ngos-ngosan seakan baru menghilangkan tahanan. Ya Ampun, jangan-jangan Akbar kabur. Sepintas, fikiran buruk itu menyerangku, lebih cepat dibandingkan pertanyaan ‘ada apa’ yang baru ku lontarkan setelahnya. Tanpa basa-basi, ia langsung menarik lenganku dan mengajakku berlari-lari dilorong antar sel. Sekeliling lorong ribut bertanya ada apa, bisik-bisik dari jeruji besi menerka-nerka yang terjadi, sementara tepat disel no 7 dua orang sipir lain telah berkumpul.
“ada apa?” tanyaku tepat didepan sel, kutatap sel no 7 itu, pemandangan yang  terasa ganjil. Seseorang tahanan sedang bersujud diatas sajadah lusuh ditengah selnya, dengan kopia hitam dan baju koko putih yang tidak kalah lusuh dengan sajadahnya, tidak ada yang aneh jika waktu terus bergerak dan tahanan itu melakukan gerakkan-gerakkan sholat lainnya. Namun nihil, tahanan itu terus bersujud seakan waktu berhenti disekelilingnya, dan memang itulah yang terjadi. Waktunya telah berhenti dalam sujudnya.
Aku menyelak masuk, bersimpuh disebelahnya, tidak perlu gerakan kuat, hanya sentuhan dipundaknya dan ia telah terjatuh dalam pangkuanku. Wajahnya teduh, dengan senyum terkembang yang begitu menyenangkan, wajahnya bersih dan secerah memandang rembulan. Akbar…..
***
Untuk Sahabat ku Alief tersayang. Aku meminta maaf untuk semua kekhawatiranmu selama ini, dan terimakasih untuk kepercayaan yang engkau berikan kepada sahabatmu yang bebal ini. Alief, sebelum ku ceritakan yang sebenarnya, aku ingin mengucapkan selamat untuk gelar hakim yang telah engkau terima, dan teramat maaf untuk keputusan hukuman dari kasusku. Alief sebelum kita benar-benar tidak bertemu lagi, aku ingin engkau mengetahui kebenaran kasus ini. Alief, memang bukan aku yang melakukan pemunuhan itu melainkan ibukulah yang melakukannya, maaf aku tidak bisa menceritakan semuanya pada hari kedatanganmu untuk kunjungan, karena aku benar-benar takut rasa keadilanmu yang tinggi itu menyeret ibuku ke ruang pengap ini. Alief aku tidak bisa membiarkan nya menerima hukuman ini, jadi biarkan aku yang menggantikannya, sebagai tanda cinta terakhirku untuk nya. Alief, sekarang ibuku mengalami gangguan jiwa, karena penipuan yang telah dilakukan oleh keluarga tersebut, kami telah berusaha melaporkan semuanya sebelum kasus ini, namun kami kalah karena kurangnya biaya. Aku tidak berharap engakau percaya kepadaku lebih jauh, namun aku hanya ingin  jujur kepadamu, Sobat.
Alief andai kita bertemu lebih cepat sebelum ini, mungkin semua akan baik-baik saja. Tapi aku yakin Allah tidak mengatur ini tanpa maksud tertentu, Alief. Biarkan aku tetap percaya hal itu hingga akhir. Alief diantara hitam dan putih terdapat garis pembatas berwarna abu-abu yang sangat sulit dipahami. Kebaikan dan kejahatan akan tertukar disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar