Garis
Abu-Abu.
“Alief…. Ayolah, kau dengar adzan kan? Bisa
ketinggalan satu rokaat kita nanti….” Akbar terus menoleh kebelakang, dengan
tatapan mata tidak sabarannya. Mengangkat sarung kotak-kotak berwarna
coklatnya, berjalan cepat beberapa langkah, kemudian kembali menyamai langkah
ku.
“tunggu sebentar, kakikukan tidak
sepanjang kamu….” Ucapku menimpali, sementara ia mulai sibuk menarik lenganku
dan memegangi sarungnya yang mulai kedodoran “akh..” desisku kesal saat sandal
jepit berlis biru yang agak kekecilan miliku, pretel ditengah jalan.
“ada
apa kawan??” tanyanya basa-basi, padahal jelas ia melihat keadaan sandalku,
pengait tempat jempolnya telah copot sempurna.
“putus
lagi….” Jawabku sambil berjongkok mencoba membenarkan sandal itu kembali.
Sayup-sayup suara suara adzan telah mengalun dibagian akhir menyerukan
kebesaran sang illahi, menyeruak diantara tusukan angin dengan aroma bukitan
sampah yang mengelitik tengkukku.
Akbar
menghembuskan nafas berat sebelum berkomentar “sandal itu memang seharusnya dibuang,”
melihat aku bergeming, ia diam sesaat merasa bersalah dengan komentarnya, “pakailah
ini...” lanjutnya sambil mengeluarkan kantong pelastik hitam. Aku memasukkan
kakiku kedalam plastik, melilitkannya kepergelangan kaki dan mulai kembali berlari.
Dari kejauhan adzan telah berganti komat, sementara angin masih tetap sibuk
menggelitiki tengkuk ku.
****
Selesai
sholat subuh berjamaah, aku dan Akbar tetap berada didalam mushola sekedar
untuk tidur-tiduran atau bertukar cerita. Kalau diperhatikan, mushola ini
kecil, gentingnya sudah banyak yang bolong, dan tembok yang seharusnya putih
telah menjadi coklat dan terkelupas dibanyak bagian.
“Alief…”
panggil Akbar menghamburkan lamunanku, ia mulai merubah posisi dari berbaring
menjadi duduk menghadapku, dengan enggan aku hanya menatap kearahnya sambil
menggumam ‘hem’ dengan setengah hati “kau tau Alief dua minggu telah berlalu
sejak kematian ayahku….” Dia terdiam, wajahnya menampakkan kekacauan untuk
berekspresi. Aku akhirnya ikut merubah posisi untuk duduk.
“keluarga kami tak lagi sama Alief, kami
benar-benar mengalami krisis” Akbar kembali terdiam bingung menatapku. Aku pun
begitu, menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
Keluarga
kami memiliki derajat keuangan yang hampir sama persis. Aku dan Akbar hanyalah murid
kelas 4 SD yang merangkap menjadi loper Koran keliling jika siang hari,
sementara ibu kami hanya buruh cuci. Berbeda sedikit nasib pada pekerjaan ayah
kami. Ayah ku seorang kuli bangunan satu tingkat diatas ayah Akbar yang dulu
sewaktu hidupnya hanya seorang tukang sapu jalan. Meskipun demikian, kami
selalu merasa ini hal yang wajar dan biasa saja, hidup sulit dengan kebutuhan
mencekik sudah menjadi makan sehari-hari keluarga kami, tapi mendengar kata
krisis dari seorang Akbar itu menunjukan keadaan yang lebih parah dari ini,
mungkin ia benar-benar telah berada digaris limit mendekati nol.
Ia
melanjutkan ucapannya “kami akan pindah” ia, kembali diam menggantung ucapannya,
namun entah bagaimana aku merasakan ada titik diakhir kalimatnya, yang berarti tidak
ada lagi penjelasan lebih dari itu.
“kemana?”
Tanyaku datar, ia hanya menggeleng. Mata coklatnya menerawang, dahinya berkerut
seakan ia sedang mencoba memecahkan soal matematika yang paling rumit.
“entah,…”
ia menelan ludah sebelum melanjutkan “tapi yang jelas itu bukan kerumahmu.
Karena kamu sama miskinnnya dengan ku…..” ucap Akbar dengan aksen khas
andalannya sambil terkekeh dan mengacak-acak rambut ku. Aku hanya terdiam
memanyunkaan bibir, ada nada getir dalam tawanya, begitupun denganku.
Saya
Alief, Alief haqiqi, dan seseorang disebelahku ini adalah Akbar, Ibnu ali Akbar
teman seperjuangan sekaligus sahabat karibku.
***
“Hakim
Alief….” Seorang lelaki mendekatiku tepat sebelum aku memasuki ruang sidang.
“maaf
anda siapa? Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sedikit basa-basi.
“saya
perwakilan dari keluarga korban… ingin memberikan ini…” lelaki itu mengeluarkan
dan menyodorkan amplop coklat kepadaku, ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan.
“ini hanya tanda terimakasih, dan kami memohon hukuman yang setimpal kepada
terdakwa…” belum sempat aku mengucap, orang itu kembali berkata “Hakim Ketua
dan Hakim senior juga telah menerimanya, saya harap anda juga tidak
berkeberatan…”
Aku
terdiam sesaat, berfikir entah apa baiknya. Menerima atau menolak, tapi saat
berfikir Hakim Ketua dan Senior juga menerimanya, mungkin ini akan baik-baik
saja? Pria itu hanya tersenyum melihatku yang hanya bungkam, iapun pamit tanpa
menunggu jawaban selanjutnya.
***
Aku
memasuki ruang persidangan, setelah ketua umum dan petinggi lainnya masuk
terlebih dulu, sidang telah siap dilaksanakan. Kuamati ruangan sekelilingku, terasa
agak sesak meskipun banyak bangku kosong dibeberapa bagian. Mungkin karena ini
pertama kalinya aku menjadi hakim sungguhan, dalam persidangan sungguhan. Aku
akan memutuskan suatu perkara, meskipun masih dibilangan hakim junior, tapi
pendapat kami jugalah yang akhirnya akan memberatkan atau meringankan hukuman
para terdakwa, dan ini bukanlah hal yang bisa disepelekan, gumamku dalam hati.
Kasus
perkara mulai dibacakan, meski telah memahami sepintas aku merasa ada sesuatu
yang aneh dalam kasus ini, ada perasaan tidak asing dengan nama lakonnya, tapi
siapa? entahlah. Jaksa penuntut umum memerintahkan terdakwa memasuki ruangan, sesaat
aku merasakan ada hawa hangat dari seseorang dihadapanku, hawa hangat juga
lembut yang sudah lama kukenal .
Jika
diperhatikan, tidak ada hal aneh dari orang yang berjarak tiga meter dariku,
tubuhnya pun tidak kekar atau pun berwajah sangar, rambutnya memang gondrong
sebahu tapi penampilannya cukup layak disebut sebagai orang yang terpelajar. Ia,hanya
menunduk, sesekali menengadah meski akhirnya kembali menunduk.
Mata
kami bersitatap sejenak yang membuat darah ku tiba-tiba menjadi seencer air
dalam alirannya. Mata coklat, itu aku mengenalnya. Mata coklat yang selalu
berbinar penuh semangat, aku mengenalnya atau setidaknya aku mengenal nya 20
tahun yang lalu, ralat ku.
“Ibnu
ali Akbar” ucapku memulai pembacaan surat dakwaan, ruangan hening. Ada rasa
ganjil menggelayuti bibir ku, kasus pertama tetapi dengan nama yang telah
kukenal 20th yang lalu. Mengapa kasus pertama ku, justru harus
menghakimi seorang sahabatku sendiri?
Wajah Akbar kini menatap lurus kepadaku, aku
tak tahu apa yang ia fikirkan, untuk sesaat ia terdiam menatapku dan sesaat
kemudian ia memasang wajah yang tak kalah terkejutnya sepertiku tadi, mata kami
bertabrakan sekali lagi.
Sidang
terus berlanjut menciptakan badai berkecamuk dalam diriku. Aku mengenal Akbar
lebih dari siapapun, aku tidak yakin dengan surat dakwak-an itu. surat dakwaan yang
menyatakan ia telah membunuh orang lain, tapi jika surat dakwaan ini benar, dia
sendirilah yang telah menyerahkan diri kepihak yang berwajib, aku tidak dapat
berbuat apa-apa, fikirku. Namun, bagian diriku yang lain berkata aku tidak
dapat berbuat apa-apa karena telah menerima tanda ucapan terima kasih dari
keluarga korban? Atau ini sebuah sogokan? Apakah yang ku lakukan ini
benar? membiarkan sahabat karib ku tetap
disana dengan tuduhannya, tanpa mau repot-repot berbuat apapun. Terlebih untuk pindah dari kursi nyaman ini.
Semua
saksi yang terkait telah memberikan kesaksian, mulai dari saksi yang memberatkan
maupun saksi yang meringankan, namun tidak ada yang menyatakan dengan pasti
apakah ia melihat Akbar sendiri yang membunuhnya, dan barang bukti pun hanya
berupa pisau yang ia bawa.
Sidang
pertama berakhir setelah pemeriksaan kepada terdakwa, sidang akan dilanjutkan
lusa untuk pembacaan tuntutan, pembelaan dan tanggapan. Ada yang sangat ku
khawatirkan, Akbar seakan telah menerima semua tuntutan tanpa perlawanan, dan
aku tidak mampu berbuat apapun. Lebih tepatnya tidak ingin berbuat apapun yang
akan merusak, repotasiku, masa depanku.
***
Sidang
hari kedua berlangsung, setelah Ketua Hakim membuka sidang dan menyerahkan
tuntutan kepada Jaksa penuntut umum, sidang dilanjutkan dengan pembelaan, namun
seperti sidang pertama, Akbar hanya diam dan pasrah menerimanya, tanpa
pembelaan sedikitpun. Sidang hari kedua selesai dan akan dilanjutkan 7 hari
mendatang. Kami masih belum berkata-kata sama sekali, tidak ia yang memulainya
maupun aku.
***
Akhirnya
Aku menyerah pada rasa ingin tahu ku yang kian mengusik. Tepat 5 hari sebelum
sidang ke tiga, aku menjenguknya di sel penjara. Bukan atas nama hakim,
melainkan sahabat karib dua puluh tahun silam. “Apa yang sebenarnya terjadi…?”
ucapku sesaat setelah Akbar memasuki ruang temu. ia tersenyum, masih seperti 20
tahun yang lalu. Mata coklatnya berbinar-binar menatapku penuh semangat.
“boleh
aku memelukmu kawan?” Tanya akbar seraya merenggangkan tangan.
Aku
menggeleng sebelum akhirnya mendekapnya erat, “kemana saja kau? Aku mencarimu…
apa yang sebenarnya terjadi sekarang…. Kamu tidak mungkin melakukan pembunuhan
ini bukan?” tangisku pecah dibahunya. Rentetan pertanyaan mengalir begitu saja
tanpa aling-aling maupun basa-basi. Akbar terdiam sebelum akhirnya terisak.
Jiwa ku kini benar-benar bagai badai di lautan, sekelebat rasa kecewa, iba,
rindu apapun itu datang silih berganti.
“aku
belum bisa bercerita sekarang…” ia terdiam sebelum melanjutkan “kau hakim yang
hebat… aku bangga kepadamu, tapi lebih baik jangan temui aku” lagi-lagi ia
tersenyum.
“hukuman
mu bisa sangat berat, jika kau tidak melakukan pembelaan atau banding, sidang besok
adalah pembacaan putusan sidang” ancamku. Ia menggenggam tanganku erat “aku
percayakan kepadamu….”
“Tapi
aku tetap tidak bisa memenangkan mu…” jawabku sekenanya.
“
aku tidak butuh kemenangan, cukup keadilan bagi kami, kawan…” gurat wajah Akbar
terlihat jelas kini dihadapanku. Perpaduan dari ketegaran, kedewasaan namun
penuh penderitaan. Setelah jeda waktu yang kaku, akhirnya kami bisa berbincang
kembali dengan normal, ia masih tetap seperti Akbar yang kukenal, hanya lebih
dewasa dari yang kuduga. “Alief aku boleh meminta kertas dan bolpoint?” ucapnya
diakhir kunjungan ku. Aku mengangguk, memberikan sebuah bolpoint biru dan
secarik kertas memo yang kemudian ia simpan entah untuk apa. kami berpelukan
sebelum ia meninggalkan ruang temu. Kurasakan tubuhnya dingin namun ada
kehangatan disana, kehangatan dalam dekapannya, kehangatan dalam lembut
hatinya, dalam setiap kasih tulusnya.
***
“Mungkin
Aku tidak layak menjadi hakim” pertanyaan ini telah 4 kali terlintas dalam
otakku, dalam waktu 4 hari setelah pertemuan dengan Akbar dipenjara lalu. Ku bolak-balikkan surat dakwaan dan beberapa
keterangan atas bukti-bukti perkara. Entah mana yang disebut curang, licik,
korupsi, kolusi maupun nepotisme. Menerima uang tanda terimaksih, sogokan, uang
panas, apapun itu atau menyelidiki kasus sahabat mu sendiri, dan perasaan itu
murni karena kau ingin menolongnya, atau setidaknya mengetahui kasus itu lebih
dalam. Ungkap hatiku melakukan pembenaran. “aku hanya ingin menemukan
sesuatu….” Bela ku kepada diri sendiri,
disela-sela carut marut data yang bergelimpangan dimeja kerja. Esok, tepat hari
persidangan. Namun, semua kebenaran yang kucari nihil.
***
Pagi
hari sebelum persidangan dimulai, aku kembali mencoba menjenguk Akbar dalam
penjara. Entah apa yang sebenarnya ingin kulakukan, memaksa ia melakukan
pembelaan, mengancam akan semua tuntutan atau justru ingin ia menyerah dan
pasrah. Semua berputar dalam otakku, berpilin diantara kenangan 20th
lalu. Kuseka ujung mataku yang telah merembeskan air bagai talang yang bocor. Lima
menit ku menunggu, belum ada tanda-tanda kedatangannya.
“kalau
jam segini, sel 7 mah sedang sholat duha, mungkin tak mau diganggu” ku putar
ulang kata-kata sipir penjara yang kumintai tolong untuk membawanya menemuiku. Jam
tangan digitalku menunjukkan waktu pukul 8.10, itu artinya aku telah menunggunya
sekitar 15 menit. Tidak sabaran, aku mulai berputar-putar dikursi. ayolah akbar, aku tidak punya banyak waktu,
4 jam lagi dan semua akan terlambat tanpa pengakuanmu. Bisikku resah dalam
hati, berulang kali ku lihat lagi jam digitalku yang belum ada tanda-tanda
ingin melakukan perubahan pada menitnya.
“pak…
pak…. Tahanan Sel 7….” Seorang sipir penjara yang tadi ku mintai tolong membawa
Akbar, kini justru kembali seorangdiri. Wajahnya panic, keringatnya bercucuran,
nafasnya sempurna ngos-ngosan seakan baru menghilangkan tahanan. Ya Ampun,
jangan-jangan Akbar kabur. Sepintas, fikiran buruk itu menyerangku, lebih cepat
dibandingkan pertanyaan ‘ada apa’ yang baru ku lontarkan setelahnya. Tanpa
basa-basi, ia langsung menarik lenganku dan mengajakku berlari-lari dilorong
antar sel. Sekeliling lorong ribut bertanya ada apa, bisik-bisik dari jeruji
besi menerka-nerka yang terjadi, sementara tepat disel no 7 dua orang sipir
lain telah berkumpul.
“ada
apa?” tanyaku tepat didepan sel, kutatap sel no 7 itu, pemandangan yang terasa ganjil. Seseorang tahanan sedang
bersujud diatas sajadah lusuh ditengah selnya, dengan kopia hitam dan baju koko
putih yang tidak kalah lusuh dengan sajadahnya, tidak ada yang aneh jika waktu
terus bergerak dan tahanan itu melakukan gerakkan-gerakkan sholat lainnya.
Namun nihil, tahanan itu terus bersujud seakan waktu berhenti disekelilingnya, dan
memang itulah yang terjadi. Waktunya telah berhenti dalam sujudnya.
Aku
menyelak masuk, bersimpuh disebelahnya, tidak perlu gerakan kuat, hanya sentuhan
dipundaknya dan ia telah terjatuh dalam pangkuanku. Wajahnya teduh, dengan
senyum terkembang yang begitu menyenangkan, wajahnya bersih dan secerah
memandang rembulan. Akbar…..
***
Untuk Sahabat ku Alief tersayang. Aku meminta maaf
untuk semua kekhawatiranmu selama ini, dan terimakasih untuk kepercayaan yang
engkau berikan kepada sahabatmu yang bebal ini. Alief, sebelum ku ceritakan
yang sebenarnya, aku ingin mengucapkan selamat untuk gelar hakim yang telah
engkau terima, dan teramat maaf untuk keputusan hukuman dari kasusku. Alief
sebelum kita benar-benar tidak bertemu lagi, aku ingin engkau mengetahui
kebenaran kasus ini. Alief, memang bukan aku yang melakukan pemunuhan itu
melainkan ibukulah yang melakukannya, maaf aku tidak bisa menceritakan semuanya
pada hari kedatanganmu untuk kunjungan, karena aku benar-benar takut rasa
keadilanmu yang tinggi itu menyeret ibuku ke ruang pengap ini. Alief aku tidak
bisa membiarkan nya menerima hukuman ini, jadi biarkan aku yang
menggantikannya, sebagai tanda cinta terakhirku untuk nya. Alief, sekarang
ibuku mengalami gangguan jiwa, karena penipuan yang telah dilakukan oleh
keluarga tersebut, kami telah berusaha melaporkan semuanya sebelum kasus ini,
namun kami kalah karena kurangnya biaya. Aku tidak berharap engakau percaya
kepadaku lebih jauh, namun aku hanya ingin
jujur kepadamu, Sobat.
Alief andai kita bertemu lebih cepat sebelum ini,
mungkin semua akan baik-baik saja. Tapi aku yakin Allah tidak mengatur ini
tanpa maksud tertentu, Alief. Biarkan aku tetap percaya hal itu hingga akhir.
Alief diantara hitam dan putih terdapat garis pembatas berwarna abu-abu yang
sangat sulit dipahami. Kebaikan dan kejahatan akan tertukar disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar